PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

(Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-545/PJ./2000 tgl. 29 Desember 2000)

 DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 perlu menetapkan Keputusan Dirjen Pajak tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi;

Mengingat :

  1. Undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (LN RI Tahun 1983 No. 49, TLN RI No.3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.16 Tahun 2000 (LN RI Tahun 2000 No. 126, TLN RI No. 3984);
  2. Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (LN RI Tahun 1983 No.50, TLN RI No. 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 (LN RI Tahun 2000 No.127, TLN RI No.3985);
  3. Peraturan Pemerintah No.138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Perluasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (LN RI Tahun 2000 No. 253, TLN RI No. 4055);
  4. Peraturan Pemerintah No. 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, Dan Tunjangan Hari Tua Atau Jaminan Hari Tua (LN RI Tahun 2000 No. 266, TLN No. 4067);
  5. Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota ABRI, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah (LN RI Tahun 1994 No. 74, TLN No. 3577);
  6. Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (LN RI Tahun 1993 No. 20, TLN No. 3520);
  7. Keputusan Menteri Keuangan No. 541/KMK.04/2000 tgl. 22 Desember 2000 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Tempat Pembayaran Pajak, Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, Serta Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak;
  8. Keputusan Menteri Keuanagn No. 611/KMK.04/1994 tgl. 23 Desember 1994 tentang Perlakukan Pajak Penghasilan Bagi Perwakilan Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 314/KMK.04/1998 tgl. 15 Juni 1998;
  9. Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/1998 tgl.18 Desember 1998 tentang Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan Serta Pegawai Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
  10. Keputusan Menteri Keuangan No.521/KMK.04/1998 tgl. 18 Desember 1998 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan:

  1. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 atau PPg Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000
  2. Pejabat Negara adalah:
  1. Presiden dan Wakil Presiden ;
  2. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
  3. Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
  4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung;
  5. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung;
  6. Menteri, Menteri Negara, dan Menteri Muda;
  7. Jaksa Agung;
  8. Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi;
  9. Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten;
  10. Walikota dan Wakil Walikota.
  1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, dan PNS lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1974;
  2. Pegawai adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah;
  3. Pegawai Tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung;
  4. Pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan/atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
  5. Tenaga Lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
  6. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tambungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
  7. Penerima Honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan.
  8. Penerima Upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.
  9. Upah Harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah harian kerja.
  10. Upah Mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
  11. Upah Borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu.
  12. Upah satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan produk yang dihasilkan.
  13. Honorarium adalah imbalan atas jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan.
  14. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melelui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
  15. Magang adalah aktivitas untuk memperoleh pengalaman dan atau keterampilan dan atau keahlian sehubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan.
  16. Bea Siswa adalah pembayaran kepada pegawai tetap, tidak tetap, dan calon pegawai, yang ditugaskan oleh pemberi kerja untuk mengikuti program pendidikan yang ditetapkan oleh pemberi kerja yang terikat dengan kontrak atau perjanjian kerja atau pembayaran yang dilakukan oleh suatu institusi kepada orang pribadi yang tidak mempunyai ikatan kontrak atau perjanjian kerja untuk mengikuti suatu program pendidikan.
  17. Kegiatan adalah keikutsertaan dalam suatu rangkaian tindakan, termasuk mengikuti rapat, sidang,seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, dan olahraga.
  18. Kegiatan multilevel marketing atau direct selling adalah suatu sistem penjualan secara langsung kepada konsumen yang dilakukan secara berantai oleh orang-perorangan sebagai distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling.
  19. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

BAB II

PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERIMA PENGHASILAN

YANG DIPOTONG PAJAK

Pasal 2

(1) Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26, yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak adalah :

  1. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit, bentuk usaha tetap, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
  2. bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
  3. dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
  4. perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
  5. perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri;
  6. Yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olahraga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya dalam bentuk apapun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi;
  7. perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;
  8. penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan) yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan sesuatu kegiatan.

(2) Dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a termasuk juga badan atau organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2), Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000

(3) Perusahaan dan badan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf d,e, dan g termasuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2), Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000

Pasal 3

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 berdasarkan Keputusan ini adalh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) angka 2 s.d angka 10 serta orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan dari Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 4

Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah :

  1. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tsb serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
  2. pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 611/KMK.04/1994 tgl. 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 314/KMK.04/1998 tgl.15 juni 1998, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

BAB III

PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

Pasal 5

(1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:

  1. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiunbulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas) premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;
  2. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
  3. upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
  4. uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tuaatau Jaminan Hari Tua, dan pembayaran lain sejenis;
  5. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, terdiri dari:

    1. tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7);
    2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang senetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
    3. olahragawan;
    4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
    5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
    6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomonikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial;
    7. agen iklan
    8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, peserta sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan;
    9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
    10. peserta perlombaan;
    11. petugas penjaja barang dagangan;
    12. petugas dinas luar asuransi;
    13. peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;
    14. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dari kegiatan sejenis lainnya.
  1. Gaji, gaji kehormatan, dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.

(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

(3) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.

Pasal 6

Untuk keperluan penghitungan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam mata uang asing dihitung berdasarkan nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghsilan tsb atau pada saat dibebankan sebagai biaya.

Pasal 7

Tidak termasuk dalam pengertian yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:

  1. pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
  2. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2);
  3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan Iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
  4. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah;
  5. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja;
  6. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

BAB IV

PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN

Pasal 8

(1) Besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasar penghasilan bruto dikurangi dengan:

  1. biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) setahun atau Rp 108.000,00 (seratus delapan ribu rupiah) sebulan;
  2. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

(2) Besarnya penghasilan neto penerima pensiun ditentukan berdsar penghasilan bruto yang berupa uang pensiun dikurangi dengan biayapensiun, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,00 (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) setahun atau Rp 36.000,00 (tiga puluh enam ribu rupiah) sebulan.

(3) Besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai dihitung berdasar penghasilan netonya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang jumlahnya adalah sbb.:

   

Setahun

Sebulan

a.

untuk diri pegawai

Rp 2.880.000,00

Rp 240.000,00

b.

tambahan untuk pegawai yang kawin

Rp 1.440.000,00

Rp 120.000,00

c.

tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak (3) tiga orang

Rp 1.440.000,00

Rp 120.000,00

(4) Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) huruf c.

(5) Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menrima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sejumlah Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) setahun atau Rp 120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah) sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) huruf c.

(6) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwin. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwin, besarnya PTKP tsb dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwin ybs.

(7) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.

(8) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) tidak berlaku terhadap penghasilan Wajib Pajak luar negeri, Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.

Pasal 9

(1) Penghasilan bruto yang diterima pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang dan pegawai tidak tetap lainnya berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya tidak lebih dari Rp. 24.000.00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tidak dipotong PPh Pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tsb dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dan tidak dibayarkan secara bulanan.

(2) Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, serta pegawai tidak tetap lainya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp. 24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp.240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah), maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5 % dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp.24.000,00 tsb.

(3) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimasud dalam ayat (1) dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp.240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah), maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360.

(4) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan secara bulanan, maka PTKP yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan.

(5) Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap yang dihitung berdasarkan upah harian, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).

(6) Atas penghasilan berupa bea siswa, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).

(7) Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.

(8) Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

BAB V

TARIF DAN PENERAPANNYA

Pasal 10

(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :

  1. pegawai tetap, termasuk Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI/POLRI, pejabat negara lainnya, pegawai Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
  2. penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan;
  3. pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai;
  4. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.

(2) Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1):

  1. bagi pegawai tetap adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun termasuk iuran Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun dan PTKP;
  2. bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dari PTKP;
  3. bagi pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai adalah penghasilan bruto dikurangi dengan PTKP;
  4. bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulandikurangi dengan PTKP per bulan.

Pasal 11

Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000 diterapkan atas penghasilan bruto berupa :

  1. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan, termasuk yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e angka 2 s.d angka 12;
  2. honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
  3. Jasa produksi, tantiem, grafitasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai;
  4. Penarikan dana pada pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan oleh peserta program pensiun.

Pasal 12

Tarip sebesar 15% (lima belas persen) ditetapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8).

Pasal 13

(1) Tarif sebesar 5% (lima persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp. 24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dalam satu tahun takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

(2) Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan sbb.:

    1. dalam hal berupa upah mingguan atau uang saku mingguan, adalah jumlah tsb dibagi 6;
    2. dalam hal berupa upah satuan, adalah upah atas banyaknya satuan produk yang dihasilkan dalam satu hari;
    3. dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud.

    (3) Apabila menerima penghasilan berupa upah, uang saku, dan komisi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pegawai tetap, maka atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja yang bersangkutan termasuk upah, uang saku, komisi dikenakan PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000, atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

    Pasal 14

    (1) Atas penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jamianan Sosial Tenaga Kerja, dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sbb.:

    1. penghasilan bruto di atas Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) s.d Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebesar 5 % (lima persen);
    2. Penghasilan bruto diatas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebesar 10% (sepuluh persen);
    3. Penghasilan bruto diatas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) s.d Rp.200.000.000,00 (dua ratus rupiah) sebesar 15 % (lima belas persen);
    4. Penghasilan bruto diatas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebesar 25% (dua puluh lima persen);

    (2) Dikecualikan dari pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) atas jumlah penghasilan bruto sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) atau kurang.

    Pasal 15

    Tarif sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa honorariun dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima olah Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, kecuali yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil golongan II d ke bawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu kebawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.

    Pasal 16

    (1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak luar negeri tsb.

    (2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tsbberubah stetatus menjadi Wajib Pajak dalam negeri.

    Pasal 17

    Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.

    Pasal 18

    PPh Pasal 21 dan Pasal 26, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

    Pasal 19

    Cara dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.

    BAB VI

    HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK

    Pasal 20

    (1) Setiap Pemotongan Pajak sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

    (2) Kewajiban sebagai Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalm Ayat (1) berlaku juga terhadap organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sesuai Pasal 21 ayat (2) Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000.

    (3) Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

    Pasal 21

    (1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim.

    (2) Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau bank-bank lain yang ditunjuk oleh Dirjen Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.

    (3) Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tsb dalam ayat (2) sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tgl. 20 bulan takwim sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2).

    (4) Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 atau Pasal 26, maka kelebihan tsb dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.

    (5) Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21atau Pasal 26 baik diminta maupun tidak pada saat diberlakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.

    (6) Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Dirjen Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir.

    (7) Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.

    Pasal 22

    (1) Dalam waktu 2 (dua) bualn setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah tarakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000.

    (2) Jumlah penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) didasarkan pada kewajiban pajak subjektif yang melekat pada pegawai tetap yang bersangkutan dan untuk pegawai tetap yang berkewajiban pajak subjektifnya berawal atau berakhir dalam tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 penghitungannya sbb.:

    1. dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dan mulai atau berhenti bekerja dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Psal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak yang bersangkutan dan tidak disetahunkan;
    2. dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan pendatang dari luar negeri, yang mulai bekerja di Indonesia dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diperoleh dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan yang disetahunkan;
    3. dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum tahun takwim berakhir karena meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama lamanya, maka pada akhir bulan berhentinya pegawai tsb penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan yang disetahunkan.

    (3) Apabila jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) lebih besar dari jumlah pajak yang telah dipotong, kekurangannya dipotongkan dari pembayaran gaji pegawai yang bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali.

    (4) Apabila jumlah pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) lebih rendah dari jumlah pajak yang telah dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan kembali.

    Pasal 23

    (1) Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

    (2) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tgl. 31 Maret tahun takwim berikutnya.

    (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) berlaku juga bagi Pemotong Pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim.

    (4) Pemotong Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2)

    (5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tgl. 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Dirjen Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh pasal 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan.

    (6) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan.

    (7) Apabila terdapat pegawai berkebangsaan asing, maka SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang bersangkutan harus dilampiri fotokopi surat izin bekerja yang dikeluarkan oleh Dep. Tenaga Kerja dan Trnsmigrasi atau instansi yang berwenang.

    (8) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih besar dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, kekurangannya harus disetor sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tgl. 25 Maret tahun takwim berikutnya.

    (9) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih kecil dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, kelebihan tsb diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.

    (10) Dalam hal Pemotong Pajak adalah badan, SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.

    (11) Dalam hal SPT Tahunan PPh Pasal 21 ditandatangani dan diisi oleh orang lain selain yang dimaksud dalam Ayat (1), harus dilampiri dengan Surat Kuasa khusus.

    BAB VII

    HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN

    YANG DIPOTONG PAJAK

    Pasal 24

    (1) Pada saat seseorang muali bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan PTKP, penerima penghasilan harus menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri.

    (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan tahun takwim.

    Pasal 25

    Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.

    Pasal 26

    Penerima penghasilan berkewajiban untuk menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada:

    1. Pemotong pajak kantor cabang baru dalam hal yang bersangkutan dipindahtugaskan;
    2. Pemotong pajak tempat kerja yang baru dalam hal yang bersangkutan pindah kerja;
    3. Pemotong pajak dana pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai menerima pensiun dalam tahun berjalan.

    BAB VIII

    KEBERATAN DAN BANDING

    Pasal 27

    Pemotong pajak dan penerima penghasilan dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak dan permohonan banding kepada badan peradilan pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000.

    BAB IX

    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 28

    (1) Dengan diterbitkannya Keputusan Dirjen Pajak ini, maka Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-281/PJ./1998 tgl. 28 Desember 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-235/PJ./1999 tgl. 17 September 1999 dan ketentuan-ketentuan lainnya yang bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

    (2) Keputusan ini dapat disebut "Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26".

    (3) Keputusan ini mulai berlaku pada tgl. 1 Januari 2001.

    Ditetapkan di Jakarta

    Pada tanggal 29 Desember 2000

    DIREKTUR JENDERAL

    ttd

    MACHFUD SIDIK

    NIP.060043114

     Tembusan :

    1. Menteri Keuangan RI;
    2. Inspektur Jenderal Dep. Keuangan;
    3. Dirjen Anggaran;
    4. Kepala Biro Hukum dan Humas Dep. Keuangan;
    5. Sekretaris Ditjen Pajak, para Direktur, dan para Kepala Pusat di lingkungan Kantor Pusat Ditjen Pajak;
    6. Para Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak;
    7. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
    8. Para kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak;
    9. Para Kepala Kantor Penyuluhan Pajak;