PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
(Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-545/PJ./2000 tgl. 29 Desember 2000)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 perlu menetapkan Keputusan Dirjen Pajak tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi;
Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan:
- Presiden dan Wakil Presiden ;
- Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
- Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
- Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung;
- Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung;
- Menteri, Menteri Negara, dan Menteri Muda;
- Jaksa Agung;
- Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi;
- Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten;
- Walikota dan Wakil Walikota.
BAB II
PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERIMA PENGHASILAN
YANG DIPOTONG PAJAK
Pasal 2
(1) Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26, yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak adalah :
(2) Dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a termasuk juga badan atau organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2), Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000
(3) Perusahaan dan badan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf d,e, dan g termasuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2), Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000
Pasal 3
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 berdasarkan Keputusan ini adalh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) angka 2 s.d angka 10 serta orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan dari Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 4
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah :
BAB III
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
Pasal 5
(1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
(3) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
Pasal 6
Untuk keperluan penghitungan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam mata uang asing dihitung berdasarkan nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghsilan tsb atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
Pasal 7
Tidak termasuk dalam pengertian yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
BAB IV
PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
Pasal 8
(1) Besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasar penghasilan bruto dikurangi dengan:
(2) Besarnya penghasilan neto penerima pensiun ditentukan berdsar penghasilan bruto yang berupa uang pensiun dikurangi dengan biayapensiun, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,00 (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) setahun atau Rp 36.000,00 (tiga puluh enam ribu rupiah) sebulan.
(3) Besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai dihitung berdasar penghasilan netonya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang jumlahnya adalah sbb.:
Setahun |
Sebulan | ||
a. |
untuk diri pegawai |
Rp 2.880.000,00 |
Rp 240.000,00 |
b. |
tambahan untuk pegawai yang kawin |
Rp 1.440.000,00 |
Rp 120.000,00 |
c. |
tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak (3) tiga orang |
Rp 1.440.000,00 |
Rp 120.000,00 |
(4) Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) huruf c.
(5) Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menrima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sejumlah Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) setahun atau Rp 120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah) sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) huruf c.
(6) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwin. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwin, besarnya PTKP tsb dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwin ybs.
(7) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
(8) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) tidak berlaku terhadap penghasilan Wajib Pajak luar negeri, Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Pasal 9
(1) Penghasilan bruto yang diterima pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang dan pegawai tidak tetap lainnya berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya tidak lebih dari Rp. 24.000.00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tidak dipotong PPh Pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tsb dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dan tidak dibayarkan secara bulanan.
(2) Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, serta pegawai tidak tetap lainya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp. 24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp.240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah), maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5 % dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp.24.000,00 tsb.
(3) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimasud dalam ayat (1) dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp.240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah), maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360.
(4) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan secara bulanan, maka PTKP yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan.
(5) Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap yang dihitung berdasarkan upah harian, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).
(6) Atas penghasilan berupa bea siswa, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).
(7) Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.
(8) Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
BAB V
TARIF DAN PENERAPANNYA
Pasal 10
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :
(2) Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1):
Pasal 11
Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000 diterapkan atas penghasilan bruto berupa :
Pasal 12
Tarip sebesar 15% (lima belas persen) ditetapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8).
Pasal 13
(1) Tarif sebesar 5% (lima persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp. 24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dalam satu tahun takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
(2) Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan sbb.:
(3) Apabila menerima penghasilan berupa upah, uang saku, dan komisi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pegawai tetap, maka atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja yang bersangkutan termasuk upah, uang saku, komisi dikenakan PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000, atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
Pasal 14
(1) Atas penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jamianan Sosial Tenaga Kerja, dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sbb.:
(2) Dikecualikan dari pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) atas jumlah penghasilan bruto sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) atau kurang.
Pasal 15
Tarif sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa honorariun dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima olah Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, kecuali yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil golongan II d ke bawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu kebawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.
Pasal 16
(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak luar negeri tsb.
(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tsbberubah stetatus menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
Pasal 17
Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.
Pasal 18
PPh Pasal 21 dan Pasal 26, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
Pasal 19
Cara dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK
Pasal 20
(1) Setiap Pemotongan Pajak sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
(2) Kewajiban sebagai Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalm Ayat (1) berlaku juga terhadap organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sesuai Pasal 21 ayat (2) Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000.
(3) Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
Pasal 21
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim.
(2) Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau bank-bank lain yang ditunjuk oleh Dirjen Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.
(3) Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tsb dalam ayat (2) sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tgl. 20 bulan takwim sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2).
(4) Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 atau Pasal 26, maka kelebihan tsb dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
(5) Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21atau Pasal 26 baik diminta maupun tidak pada saat diberlakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
(6) Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Dirjen Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir.
(7) Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
Pasal 22
(1) Dalam waktu 2 (dua) bualn setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah tarakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000.
(2) Jumlah penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) didasarkan pada kewajiban pajak subjektif yang melekat pada pegawai tetap yang bersangkutan dan untuk pegawai tetap yang berkewajiban pajak subjektifnya berawal atau berakhir dalam tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 penghitungannya sbb.:
(3) Apabila jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) lebih besar dari jumlah pajak yang telah dipotong, kekurangannya dipotongkan dari pembayaran gaji pegawai yang bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali.
(4) Apabila jumlah pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) lebih rendah dari jumlah pajak yang telah dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan kembali.
Pasal 23
(1) Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
(2) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tgl. 31 Maret tahun takwim berikutnya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) berlaku juga bagi Pemotong Pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim.
(4) Pemotong Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2)
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tgl. 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Dirjen Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh pasal 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan.
(6) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan.
(7) Apabila terdapat pegawai berkebangsaan asing, maka SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang bersangkutan harus dilampiri fotokopi surat izin bekerja yang dikeluarkan oleh Dep. Tenaga Kerja dan Trnsmigrasi atau instansi yang berwenang.
(8) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih besar dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, kekurangannya harus disetor sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tgl. 25 Maret tahun takwim berikutnya.
(9) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih kecil dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, kelebihan tsb diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
(10) Dalam hal Pemotong Pajak adalah badan, SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
(11) Dalam hal SPT Tahunan PPh Pasal 21 ditandatangani dan diisi oleh orang lain selain yang dimaksud dalam Ayat (1), harus dilampiri dengan Surat Kuasa khusus.
BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN
YANG DIPOTONG PAJAK
Pasal 24
(1) Pada saat seseorang muali bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan PTKP, penerima penghasilan harus menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan tahun takwim.
Pasal 25
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
Pasal 26
Penerima penghasilan berkewajiban untuk menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada:
BAB VIII
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 27
Pemotong pajak dan penerima penghasilan dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak dan permohonan banding kepada badan peradilan pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
(1) Dengan diterbitkannya Keputusan Dirjen Pajak ini, maka Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-281/PJ./1998 tgl. 28 Desember 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-235/PJ./1999 tgl. 17 September 1999 dan ketentuan-ketentuan lainnya yang bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Keputusan ini dapat disebut "Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26".
(3) Keputusan ini mulai berlaku pada tgl. 1 Januari 2001.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2000
DIREKTUR JENDERAL
ttd
MACHFUD SIDIK
NIP.060043114
Tembusan :